leh Riki Alfian Ardiansyah, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tak ada kesejahteraan tanpa daya dan upaya. 67 tahun sejak era
kemerdekaan telah berlalu, harapan dan konstitusi yang dirancang oleh
para pahlawan faktanya tak mampu dijalankan dengan baik oleh generasi
setelahnya.
Terbukti dengan merosotnya berbagai pilar penegak bangsa serta makin
maraknya Korupsi, kolusi dan nepotisme. Resolusi dan angan- angan setiap
pergantian rezim pun hanya sebatas puisi belaka. Ketegasan mulai pudar,
kemandirian kian menggantung.
Kini segalanya telah 'berubah', berubah dalam langkah yang kian tak
menentu. Acuan dan pandangan filsafat pendiri bangsa kini tak lagi
dirambui . Seiring dengan berjalannya waktu, Indonesia kian 'merana'.
Hidup berlandaskan Pancasila nyatanya tak benar-benar bisa dipahami
dengan baik oleh semua pihak. Banyak golongan yang menyalahi aturan
hidup. Tanpa rasa bersalah dan dengan penuh kesadaran mereka gelapkan
kewajiban perpajakannya.
Peranan pajak dari waktu kewaktu semakin vital. Postur APBN kita
lebih dari 80% ditopang oleh pajak. Tak tercapainya penerimaan pajak
akan membuat hutang semakin melilit. Kehidupan menjadi kian pelik.
Subsidi yang perlahan mulai dikurangi membuat Institusi Pajak kian di
'Pandang' oleh masyarakat. Terakhir kali penerimaan pajak terpenuhi
adalah 5 tahun silam. Saat itu gencar terobosan pemikiran yang
dicetuskan.
Salah satunya adalah sunset policy. Multiplier effect dari Sunset
Policy diyakini mampu mendorong wajib pajak agar lebih patuh di dalam
memenuhi kewajiban perpajakan ditahun mendatang. Ide- ide semacam inilah
yang saat ini kita butuhkan. Semangat baru dengan segudang pengalaman.
Sejak masih kanak-kanak kita sering mendengar bahwa pengalaman adalah
guru yang terbaik. Pengalaman takkan pernah bisa dibeli dengan harga
yang fantastis sekalipun. Dan akan tetap seperti itu sampai kapanpun.
Sekarang euphoria tahun baru telah usai, waktu bersantai sejenak dengan
orang-orang tercinta pun telah 'berakhir'.
Sekarang adalah saatnya kita mengabdikan diri pada negeri, Indonesia.
Tugas mulia telah menanti, target penerimaan telah disematkan di pundak
kita. Sejuta langkah pengamanan penerimaan pun telah disusun.
Kini tak ada alasan lagi yang 'memperbolehkan' penerimaan pajak tak
terpenuhi. Ketegasan dan Gijzeling. Undang- undang perpajakan menyatakan
bahwa bagi para pengemplang pajak yang dengan sengaja mengabaikan
kewajiban perpajakan, baik itu dari segi formal maupun material serta
diragukan itikad baiknya dalam memenuhi kewajiban perpajakan, bisa
dilakukan tindakan gijzeling (baca: penyanderaan).
Faktanya, banyak pengemplang pajak yang masih bebas berkeliaran di
bumi pertiwi, bahkan hingga mancanegara. Untuk sekedar melakukan
pencekalanpun seolah kita tidak 'mampu'. Aturan dibuat bukan untuk
dilanggar, namun ditegakkan. Satu orang pengemplang pajak yang lolos
dari kewajiban perpajakan. Hal tersebut akan membuat seluruh NKRI
menanggung akibatnya. Ribuan bahkan jutaan rakyat yang akan semakin
sengsara.
Jangan sampai karena satu pengemplang pajak, maka rusak susu
sebelanga. Ketegasan dan aturan harus ditegakkan. Selama keputusasaan
belum melanda diri, kegagalan tak akan menghampiri. Semangat dan daya
juang harus digelorakan, canangkan program- program unggulan yang
berimplikasi baik terhadap penerimaan pajak.
Hindarilah hal-hal yang bisa membuat motivasi menurun. Jika dan hanya
jika penerimaan pajak bisa terpenuhi, maka Indonesia bisa 'selamat'
dari ancaman lilitan hutang yang siap menerkam kita kapanpun.
Buktikanlah pada diri sendiri dan dunia, KITA BISA! Salam Perubahan
menuju Kesempurnaan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar